Pages

Tuesday, April 19, 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS MASA KODIFIKASI ABAD 3 (Mencakup: Awal Abad dan Pertengahan Abad 3, Tokoh, Karya & Ciri-ciri Kitabnya)

BAB I: PENDAHULUAN

Al-Hadith merupakan sumber hukum utama sesudah al-Quran. Keberadaan haditsadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. Ibarat dua saudara kandung, Al-Quran dan hadits tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan keduanya mempunyai keterkaitan yang erat antara satu sama lainnya. merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan h

Kendati demikian, keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Quran telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.

Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijrah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah SAW. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Sejarah Perkembangan Hadits Masa Kodifikasi Abad 3 (Mencakup: Awal Abad dan Pertengahan Abad 3, Tokoh, Karya & Cirri-ciri Kitabnya).


BAB II: PEMBAHASAN

A. Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad 3

Abad III H merupakan abad di dalam periode kelima. Di mana, pada periode ini merupakan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada awal abad III H, adalah masa dimulainya pembukuan hadits yang semata-mata hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat dan fatwa Tabi’in. Akan tetapi mereka tidak memisahkan hadits-hadits yakni mencampurkan hadits sahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dha’if. Segala hadits yang mereka terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan kesahihannya, atau kehasanannya, atau kedha’ifannya. Mereka menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama orang yang pertama meriwayatkan hadits itu (Musnad) yaitu Abdullah Ibn Musa al-Abasy al-Kufy, Musaddad Ibn Musarhad al-Bashry, As’ad Ibn Musa al-Amawy, Nu’aim Ibn Hammad al-Khuza’y, Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, Usman Ibn Abi Syaibah.

B. Meluasnya Lawatan, Penyusunan Kaidah dan Pentashhihan Hadits

Dalam abad ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan Al-Muwaththa’ Malik tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Hal ini kian hari kian bertambah maju.

Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota masing-masing. Sebahagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Pada pertengahan abad ke-3, keadaan ini dipecahkan al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluahkan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himsah.

Ringkasnya, al-Bukhary membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. 16 tahun lamanya beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya.

Pada mulanya ulama menerima hadits dari perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits yaitu dengan menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu’.

Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dha’if yakni menshahihkan hadits.

Pembahasan mengenai diri pribadi perawi menghasilkan ilmu Qawa’id at-Tahdits (kaidah-kaidah tahdits), ‘Illat-‘illat hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-perawi hadits.

Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Dirayah (Ilmu Dirayah al-Hadits) yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadits).

Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if dengan mempergunakan syarat-syarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’, melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan.

C. Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih saja

Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.

Pekerjaan yang mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam al-Bukhary. Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’ ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih.

Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (sunan At-Tirmidzy) dan AnNasa’y (sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul al-Khamsah).

Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama al-Kutub as-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad al-Imam Ahmad.

D. Dasar -dasar Pentashhihan Hadits

Untuk mentashhihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-Bukhary (umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai.

Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits. Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk menerangkan keadaan perawi-perawi hadits. al-Bukhary dalam menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan sekali.

Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya. Ada yang erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak. al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya, sama dengan menerima perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.

Al-allamah muhammad zahijd al-kutsary mengatakan bahwa diantara yang menarik perhatian adalah al-Bukhary dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal al-Bukhary dan muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan menerimah hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak mentakhrijkan hadits imam Asy-Syafi’y padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashabnya. Juga al-Bukhary tidak mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits, satu secara ta’liq, satu lagi secara nasil dengan perantaraan, padahal al-Bukhary mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim tidak mentakhrijkan dalam shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim bergaul dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits ahmad selain dari 30 hadits, ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari malik dari nafi melalui jalan Asy-Syafi’y padahal sanad inni dipandang paling sah, selain dari empat hadits.

E. Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits

Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if, mereka memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk menyusun kaedah-kaedah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat menerimah riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah-kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu (palsu).

Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dha’if, khususnya antara hadits-hadits yang ada asalnya dengan hadits yang semata-mata maudhu.

Adapun langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam mengkritik jalan-jalan menerimah hadits sehingga mereka dapat melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersikan dari segala lumpur yang mengotorinya ialah mengisnadkan hadits, memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima kepada para ahli, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajat hadits, menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah maudhu’.

1. Mengisnadkan Hadits

Para sahabat sesudah Nabi saw. Wafat, saling mempercayai. Para tabi’in dengan tidak tertugun-tegun menerima hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh seorang shahaby. Keadaan tersebut berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakan oleh Abdullah Ibnu Saba, seorang yahudi yang bermaksud jahat terhadap Islam. Dia menggerakan ummat untuk menganut paham tasyayyu’ (paham memihak kepada Ali dan mempertahan kekhalifaan di tangan Ali dan keturunannya). Mereka ada yang mengaku keturunan Ali. Sejak itu, timbulnya penyisipan ke dalam hadits, penyisipan itu kian hari kian bertambah.

Berkenaan dengan hal itu, mulailah ulama baik dari kalangan sahabat, maupun tabi’in berhati-hati menerima riwayat yang diberikan kepada mereka. Mereka mulai tidak lagi menerima hadits kecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawinya dan keadilan mereka. Ibnu sirin berkata (menurut riwayat Muslim dalam muqaddimah shahihnya), “para sahabat dan tabi’in tidak menanyakan tentang hal isnad. Namun, ketika mulai terjadi fitnah, maka ketika menerima suatu hadits bertanya, siapa yang memberikan hadits itu? sesudah diketahui sanad, diperiksalah apa sanad itu terjadi dari Ahlus Sunnah. Kalau benar, diambillah hadits itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bid’ah, ditolaklah hadits itu.” Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang meninggal sesudah terjadi fitnah.

Diriwayatkan Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas, lalu menceritakan hadits kepadanya. Ibnu Abbas tidak memperhatikan hadits-hadits yang di riwayatkan itu. Maka Busyair bertanya, “apakah sebabnya anda tijdak mendengarkan hadits-hadits yang saya riwayatkan?” Ibnu Abbas menjawab, “Dahulu, apabila mendengar hadits, kami memperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Ketika manusia telah mengendarai binatang jinak dan liar, tidaklah kami menerima selain dari yang kami ketahui.” Berkenaan dengan ini pula, ketika telah berkecamuknya kedustaan para tabi’in memintakan isnad.

Abu Aliyah berkata, “kami mendengar hadits-hadits dari seorang sahabat. Kami tidak senang kalau kami tidak berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk mendengar hadits.”

2. Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima

Seseorang yang menerima hadits, berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadits. Dengan inayah Allah SWT, banyak para sahabat yang hidup lama. Maka ketika timbul kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang menerima hadits pergi kepada para sahabat untuk menanyakan hadist yang diterimanya.

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah:

“Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang tidak ada) pada saya. Ibnu Abbas berkata, “Seorang anak yang jujur, saya akan memilih untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar). Ibnu Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab hukum Ali. Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila didapatinya yang tidak benar, berkata, “demi Allah, Ali tidak menghukum begini, terkecuali dia sesat.”

Untuk memenuhi maksud ini para sahabat dan para tabi’in membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar hadits-hadits dari orang terpercaya.

Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy berkata, “saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah hadits.”

3. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya

Inilah sebuah usaha besar yang dilaksanakan ulama untuk membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak dan yang kuat dari yang lemah. Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali. Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan tidak segan–segan menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya kepada umum.

Pernah dikatakan orang kepada Yahya Ibn Said al-Qaththan, “Apakah anda tidak takut pada hari kiamat mereka menjadi seteru anda di hadapan Allah?” Yahya menjawab, “Saya lebih suka menjadi seteru mereka daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul akan bertanya,” mengapa kamu tidak membela sunnahku?”

Untuk ini ulama telah membuat undang-undang atau kaidah umum untuk menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil atau Ilmu Mizan ar-Rijal.

4. Membuat Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits

Ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha’if. Mereka membuat kaidah- kaidah untuk mensahihkan suatu hadits dan untuk men-dha’if-kannya. Dengan perkataan lain, mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat.

Ringkasnya, ulama hadits menyusun qawaid (kaidah-kaidah) tahdits dan ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat dan menolaknya, syarat-syarat shahih, dha’if.

5. Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’

Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits yang sahih, hasan dan dha’if dari maudhu’, yang dipandang seburuk-buruk hadist dha’if, mereka menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang dalam menentukan hadits-hadits maudhu’ itu.

Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu’ yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud kemuslihatan.


F. Tokoh-tokoh Hadits pada Abad 3

Di antara tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny, Abu Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhmmad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, al-Bukhary, Muslim, An-Nasa’y, Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah, Ad-Dainury.


G. Perkembangan Kitab-kitab Hadits

Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 Hijrah.

1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).

2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H).

3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209-279 H).

4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at (202-275 H).

5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai (215-303 H).

6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri

(181-255 H).

7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209 - 273 H).

8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).

9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).

10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).

11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).

12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).

13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).

14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).

15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).

16. Al-Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).

17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H).

18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat 307 H).

19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi (282 H).

20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H).

21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat 243 H).

22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari (wafat 282 H).

23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303 H).

24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).

25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228).

Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.


BAB III: PENUTUP

Kesimpulan

Proses kodifikasi hadits adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah SAW. masih hidup. Pada abad 3 ini proses kodifikasi hadits lebih tertumpu pada pentashhihan dan penyusunan kaidah-kaidah supaya tidak tercampur lagi hadits-hadits shahih dengan yang tidak shahih. Sehinggakan pada pertengahan abad ke-3, kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya dikalangan masyarakat Arab mula meningkat.

Ulama-ulama pada abad 3 dan pertengahan abad 3 ini juga telah memberikan banyak manfaat khususnya dalam pemeliharaan hadits dari orang-orang musyrik yang cuba untuk menyelewengkan hadits di dalam agama Islam. Hasil daripada usaha ulama-ulama hadits ini, telah terhasilnya banyak karya-karya atau kitab-kitab yang dapat menjadi panduan dan rujukan umat Islam sehingga sekarang. Wallahu’alam...


~~HASIL KERJASAMA MULTAZAM & ZULIANTO~~


CIRI MANUSIA YANG SABAR....

Manusia yang SABAR ialah mereka yang apabila ditimpa kesusahan akan segera ingat kepada Allah, dengan berkata, "Inna lillah wa inna ilayhi raji'un", bahawa hidup kita ini secara keseluruhannya adalah hak milik mutlak Allah - apa sahaja yang kita miliki, baik harta, kuasa, bahkan nyawa kita dan orang-orang yang kita sayangi kesemuanya adalah hak milik Allah. Maka pastinya Allah berkuasa melakukan apa sahaja yang dikehendaki-Nya ke atas segala yang dimiliki-Nya, dan akan tiba masa dan ketika di mana kesemuanya akan dikembalikan kepada-Nya.

Para 'ulama mengingatkan bahawa sabar itu mestilah berlaku pada pukulan pertama, iaitu ketika mula-mula musibah melanda. Bukannya seperti kata pepatah, alah bisa tegal biasa. Manusia apabila mula-mula ditimpa musibah, ramai yang akan cepat melatah dan tidak redha dengan ketentuan tersebut. Setelah keadaan reda sedikit dan dia mula sedar bahawa dia tidak memiliki jalan keluar, barulah dia akan mula insaf, redha kepada ketentuan Tuhan dan berkata, "Sabar sahajalah, nak buat macam mana lagi..."

Itu bukanlah konsep sabar yang sebenar. Sabar yang sebenar ialah pada detik pertama musibah melanda, lantas manusia yang bersabar terus redha dengan ketentuan Allah tanpa sedikit pun timbul rasa kecewa atau penyesalan. Mereka inilah yang akan mendapat khabar gembira tersebut walaupun dilanda kesusahan.

Apa pula bentuk khabar gembira itu? Pertama khabar gembira itu datang dalam bentuk selawat daripada Allah, iaitu mendapat keberkatan daripada Allah dan keampunan dari dosa-dosa.

Kemudian datang pula rahmat Allah melimpahi mereka. Sa'id Ibn Jubair Rahimahullah, seorang tokoh Tabi'in mengatakan bahawa rahmat itu ialah pelindung daripada siksa azab neraka. Dan akhirnya mereka adalah orang yang benar-benar mendapat petunjuk daripada Allah. Orang yang mendapat petunjuk pula akan mendapat ganjaran yang banyak kerana mereka mengikut petunjuk Allah.